Indonesia memilih, "koalisi partai atau koalisi rakyat"

Sebagaimana berita yang kita tonton dari televisi, mewarnai jalannya proses demokrasi di negeri yang kita cintai ini pasca pemilu legislatif. Tepat jam 11.00 WIB tadi malam, genap sudah tiga pasang calon prsiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia yang akan bertarung dalam pemilihan presiden tanggal 8 Juli 2009 mendatang. JK-Wiranto (JK-WIN) sebagai pasangan pertama, disusul SBY-Budiono (SBY-BERBOEDI) sebagai pasangan kedua, dan terakhir Mega-Parabowo (MEGA-PRO)sebagai pasangan ketiga. Dijadawalkan ketiga pasangan capres dan cawapres ini akan mendaftarkan diri secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum hari ini, sabtu 16 Mei 2009 sebagai syarat keikutsertaan mereka dalam pilpres mendatang. Mencermati ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden ini, ada yang sedikit menggelitik hati saya, yaitu proses terbentuknya ketiga pasangan ini, yang menurut saya melalui proses alot, sedikit unik sekaligus menggelikan.

Mari kita lihat satu persatu peroses terbentuknya ketiga pasangan calon presiden kita kali ini.

Pasangan pertama, Jusuf Kalla - Wiranto

Seperti yang telah kita ketahui bersama, perolehan suara Partai Golkar pada pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 yang hanya 14% lebih, tidak memenuhi syarat yang ditetapkan Undang-Undang untuk mengusung calon presiden sendiri. Karena itu mau tidak mau, Golkar harus membangun koalisi dengan partai politik lain untuk mengusung calon presiden dan wakil presidennya. Awalnya, partai Golkar melalui ketua umumnya yang juga Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, menyatakan keinginannya untuk tetap berkoalisi dengan partai Demokrat guna mendampingi SBY sebagai calon presiden RI masa bakti 2009-2014 untuk melanjutkan apa yang telah mereka berdua lakukan selama menjabat sebagai presiden dan wakil presiden RI 2004-2009. Tapi siapa yang menyangka, jika ternyata Partai Demokrat melalui SBY menolak secara halus keinginan JK ini dengan menetapkan kriteria calon wakil presiden yang menurut banyak kalangan sebagai bentuk penolakan secara halus SBY untuk berduet kembali dengan JK.

Walaupun hal ini berkali-kali dibantah oleh elit partai Demokrat, namun sesungguhnya hal ini dapat diketahui dari beberapa syarat-syarat yang ditetapkan SBY antara lain, loyal, bukan ketua umum partai, memahami ekonomi dan lain-lain. Dari ketiga syarat ini, pengamat politik menterjemahkannya sebagai alamat yang ditujukan kepada JK. Dalam pandangan mereka, SBY menganggap JK selama kebersamaan mereka, dianggap tidak loyal. Lebih-lebih lagi adanya syarat pendamping SBY nanti harus sosok yang bukan merupakan ketua umum partai. Ini jelas-jelas sebuah isyarat yang diakui atau tidak baik oleh Demokrat dan SBY merupakan alamat yang ditujukan pada JK.

Mencermati situasi ini, sebagai orang timur yang peka, JK kemudian menyadari bahwa SBY tidak lagi menginginkan dirinya untuk berduet kembali menuju kursi RI 1 dan RI 2 pada pilpres mendatang. Agar tidak kehilangan muka, JK melalui rapat harian partai Golkar memutuskan untuk menghentikan komunikasi politik dengan Demokrat dengan alasan komunikasi politik mengalami kebuntuan. Melalui rapat pimpinan nasional khsuus, golkar secara resmi menyatakan akan mengusung calon sendiri yaitu Jusuf Kalla for presiden, maka resmilah talak tiga dijatuhkan Golkar pada Demokrat.

Walaupun banyak kalangan menyesalkan keputusan SBY dan JK untuk berpisah, namun itulah politik. Tidak ada kawan atau lawan yang abadi di sana, karena yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Sesungguhnya sebagian besar masyarakat dan elit-eleit negeri ini masih banyak yang mengharapkan agar SBY dan JK melanjutkan kebersamaan mereka memimpin negeri ini untuk lima tahun mendatang, namun apa mau di kata, realitas politik memang kadang berbicara lain.

Sikap SBY yang secara terangan-terangan menolak JK dianggap banyak kalangan, terutama para pengusaha, pakar politik, budayawan sebagai langkah yang salah. SBY menurut kacamata mereka teralu percaya diri dan seakan-akan sudah menganggap Demokrat sebagai pemenang pilpres. Padahal menurut perkiraan mereka, perolehan 20% pada pemilihan legislatif tidak bisa sepenuhnya dijadikan ukuran SBY akan memenangkan pemilihan presiden.

Realitas ini pulalah yang membuat JK dan Golkar harus membangun komunikasi politik dengan partai lain. Awalnya dicoba dengan PDIP tetapi komunikasi inipun gagal. Mungkin karena keduanya ngotot ingin jadi presiden. Dan seperti yang kita ketahui, akhirnya partai Hanura lah yang kemudian menjadi pelabuhan terakhir partai Golkar. JK - Wiranto resmi menjadi calon presiden dan wakil presiden usungan partai Golkar dan Hanura.

Pasangan kedua, SBY - Boediono (SBY-Berboedi)

Sebagaimana hasil pemilu legislatif, partai Demokrat sebenarnya tidak menemui kesulitan berarti untuk mengusung SBY sebagai calon presiden. Masalahnya justru berada pada penentuan siapa calon wakil presiden yang pantas mendampingi SBY. Hal ini makin alot dengan bereaksinya beberapa partai politik yang menyatakan berkoalisi dengan Demokrat. PKS, PKB dan PAN adalah partai politik peserta koalisi yang menghendaki agar pemilihan calon wakil presiden diambil dari partai politik peserta koalisi. PKS yang kemudian membuat negosiasi makin alot karena menolak Boediono yang ternyata secara diam-diam telah ditunjuk SBY untuk mendampinginya. PKS bahkan mengancam akan keluar dari koalisi jika SBY tetap ngotot menunjuk Boediono sebagai cawapresnya. Melalui wakil sekertaris jenderalnya Fachri Hamzah, dalam wawancara telepon dengan salah satu kru TV ONE, menyatakan SBY akan kalah jika tetap memilih Boediono sebagai cawapresnya.

Tapi kenyataan kemudian berbicara lain, bertempat di hotel seraton Bandung, PKS akhrinya luluh setelah bertemu dengan SBY beberapa jam sebelum pasangan SBY Boedino dideklarasikan di sasana Ganesha Bandung. Tidak ada yang tahu apa yang membuat PKS luluh dan mau menerima Boediono sebagai cawapres mendampingi SBY. Setelah itu muncul desas desus, bahwa PKS telah diiming-iming beberapa kursi menteri jika SBY kembali terpilih sebagai presiden pada pilpres mendatang.

Bagi kita rakyat kecil, kalau benar telah terjadi kesepakatan demikian antara PKS dengan SBY, maka tentu kita hanya dapat berkata, sebegitu mudahnya idealisme dibarter dengan kekuasaan. Kalau isyu ini benar, makin nyata eksistensi PKS di mata para pemilihnya, bahwa PKS memang telah melenceng cukup jauh dari idealisme yang diperjuangkannya selama ini. Mungkin PKS telah merasakan lezatnya kursi kekuasaan, manisnya kedudukan dan jabatan, sehingga berani menggadai prinsip-prinsip yang selama ini menjadi tujuan pendiriannya. Wallahu 'alam bisshowab. Pertanyaanya kemudian adalah, adakah koalisi partai ini juga berakibat terbentuknya koalisi pemilih di akar rumput?. Secara pribadi saya mengatakan "tidak". Tidak ada jaminan bahwa berkoalisinya partai akan membuat pemilihnya akan melakukan hal yang sama. Harus di ingat bahwa, keinginan 3 orang elit PKS yang komitmen tetap berkoalisi dengan Demokrat belum sama dengan keingian sekian juta kader dan simpatisan PKS. Kenyataanlah yang akan membuktikannya kelak.

Pasangan ketiga, Megawati-Prabowo (Mega-Pro)

Di antara kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang saya sebutkan di atas, mungkin pasangan ketiga inilah yang paling alot dalam membicarakan koalisi. Beberapa kali pembicaraan mengalami kebuntuan karena kedua pimpinan partai ngotot untuk sama-sama menjadi presiden (he..he..he). Tentu saja suatu hil yang mustahal, sebab cawapres hanya satu, dan Prabowo melalui Gerindranya sebagai peraih suara dengan prosentase yang lebih kecil harusnya mau menerima posisi cawapres. Berkat dialog yang secara terus menerus dibangun akhrinya dicapai suatu kesepakatan, dan Prabowo menerima sebagai cawapres mendampingin Megawati dengan syarat, jika terpilih diberi kewenangan yang lebih besar mengatur ekonomi kerakyatan yang memang menjadi haluan partai Gerindra.

Lengkaplah sudah tiga pasang calon presiden dan wakil presiden kita. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapa di antara ketiga pasangan calon itu yang akan meraih simapati mayoritas rakyat?. Jawabannya tentu ada dalam benak kita masing-masing sebagai rakyat. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin menghimbau, manfaatkan dengan sebaik-baiknya suara anda semua pada pemilihan presiden nanti. Ingat, nasib bangsa ini hari esok akan ditentukan lewat pilihan anda pada tanggal 8 Juli 2009 yang tinggal sebulan lagi. Yang pasti, koalisi partai tidak berarti koalisi rakyat. Biarkan rakyat memilih sesuai dengan nuraninya, karena itu jangan paksa mereka untuk terlibat dalam kepentingan politik sesaat untuk kepentingan para elit.
Selamat mencoblos, pilihan anda menentukan masa depan bangsa.

Baca juga artikel berikut :



1 komentar:

sanur sukur mengatakan...

kalau harus memilih, dengan berat hati saya harus memilih yang terbaik diantara yang terburuk

Copyright © 2009 - ekspresi ikhwan - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template