realitas janji

H ingar bingar kegiatan partai politik peserta pemilu, calon legislatif (caleg) menjelang hari H pelaksanaan pen-contrengan (bukan pencoblosan), minggu-minggu belakangan ini makin sangat terasa intensitasnya. Perang atribut (baliho, stiker, famplet, iklan TV, Radio) dalam berbagai bentuknya mewarnai prosesi akhir menuju tanggal 9 April 2009, dimana saat itu rakyat Indonesia akan berbondong-bondong menuju TPS (bilik suara) untuk memberikan suaranya memilih partai politik dan orang-orang (caleg) yang dipercaya dapat memperjuangkan aspirasi dan keinginannya di lembaga yang terhormat DPR, DPD, dan DPRD.

Jalan-jalan, halte-halte bus, terminal, pertokoan, tempat-tempat umum penuh dengan berbagai slogan kampanye dan poster para tokoh-tokoh, yang tentu saja adalah merupakan dagangan atau jualan politik, penuh dengan janji-janji manis yang melenakan, tentu dengan satu tujuan yakni meraih simpati rakyat pemilih untuk memilihnya dalam pemilu nanti. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, hal seperti ini tentu wajar dan sah-sah saja, karena memang begitulah prosesi pelaksanaan demokrasi (Pemilu) di manapun di dunia ini. Namun...


substansi yang saya ingin kemukakan dalam tulisan saya kali ini, kaitannya dengan pelaksanaan kampanye adalah muatan atau isi yang terkandung di dalamnya. Sadar atau tidak, partai politik melalui tokoh-tokohnya dan para caleg itu telah mengucapkan janji kepada rakyat sekaligus kepada Tuhan. Janji-janji itu dapat kita baca dan dengar dari orasi politik, slogan partai, famplet dan berbagai atribut lainnya, dimana intinya adalah keinginan untuk melakukan perubahan akan nasib rakyat yang dari tahun ke tahun makin terpuruk saja. Padahal kalau kita mencoba untuk mengingat kembali proses yang sama lima atau sepuluh tahun lalu, dapat dikatakan tidak ada yang baru jika dibandingkan dengan realitas yang kita lihat sekarang.

Lihatlah misalnya, partai A menjanjikan perubahan dibidang ekonomi dalam bentuk penurunan harga sembako, pendidikan gratis, kesehatan gratis, keberpihakan pada wong cilik. Partai B menjanjikan Indonesia baru, partai Z menjanjikan lapangan kerja baru, dan sejumlah janji dari partai-partai lainnya, yang menurut saya janji-janji seperti ini juga diucapkan lima tahun yang lalu. Sekarang mari kita lihat realitas yang tejadi, apakah benar janji perubahan itu telah diwujudkan?, benarkah harga kebutuhan sembilan bahan pokok telah terjangkau oleh masyarakat miskin?, benarkah jumlah lapangan kerja makin bertambah?, benarkah semua rakyat telah memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan?, benarkah kualitas kesehatan penduduk Indonesia makin baik?, atau yang terjadi malah sebaliknya?.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan justru berbicara lain. Kebutuhan dasar masyarakat semakin tidak terjangkau harganya, rakyat kecil makin menderita hidupnya, jumlah pengangguran tidak terbendung dari tahun ketahun, lapangan kerja makin sulit, tidak sedikit anak-anak yang harus kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan karena ketiadaan biaya, rakyat kecil harus meregang nyawa karena tidak mampu membeli obat, jumlah rakyat miskin yang menghuni negeri kita tercinta Indonesia raya ini telah mencapai 40 juta lebih.

Belum cukup sampai disitu, kejahatan terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu, copet, rampok, pemerkosaan, pembunuhan, bahkan kejahatan tingkat tinggi seperti korupsi justru makin menjadi-jadi. Lalu mana janji-janji itu?, apakah mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa mereka pernah mengucapkan janji seperti yang mereka lakukan sekarang?. Mungkin terlalu kasar jika kita mengatakan sesungguhnya bangsa kita ini salah urus karena diurus oleh manusia-manusia bermental tukang pembuat janji alias penipu. alih-alih menyadadari kesalahan, justru mereka kembali melakukan klaim bahwa ini adalah sebuah keberhasilan. Wah....wah....wah...., para politisi kita memang sudah makin tidak waras, hanya mungkin tidak baik jika kita katakan gila!!!.

Sebagai rakyat, ini harus menjadi bahan renungan kita bersama untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah kita buat lima tahun lalu. Mari tentukan sikap, jangan mudah terbius janji-janji manis, karena memilih mereka kembali itu sama saja artinya dengan menunjukkan kebodohan kita, sekaligus menjadi indikasi bagi mereka bahwa kita justru menikmati keadaan ini. Anggap saja janji-jani manis melalui kampanye itu sebegai lelucon yang bisa membuat kita tertawa untuk sejanak melupakan penderitaan yang kita alami akibat janji-janji mereka.

Baca juga artikel berikut :



0 komentar:

Copyright © 2009 - ekspresi ikhwan - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template