antara harapan dan kenyataan

P emilihan umum (Pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat DPR, DPRD, DPD tinggal beberapa hari lagi. Partai politik dan para caleg tentu makin deg-degan saja, karena pada hari itu nasib mereka akan ditentukan oleh rakyat, duduk di kursi empuk atau kembali menjadi rakyat biasa tanpa kursi(jabatan). Jika berbicara masalah pemilu, menurut saya hanya ada satu elemen dari bangsa ini yang memiliki peran penting untuk mensukseskan pemilu yaitu rakyat, dalam hal ini mereka yang memiliki hak pilih. Para pakar politik dan demokrasi mengatakan bahwa pemilu adalah moment paling penting bagi rakyat untuk menentukan masa depannya, karena melalui pemilu rakyat diberi kewenangan menentukan pilihannya, siapa yang kelak mereka percaya mengemban amanah untuk mengatur bangsa ini untuk jangka waktu lima tahun kedepan dimana kepentingan rakyat ada didalamnya. Benarkah demikian?...


Pendapat para pakar ini sepertinya masih perlu diuji. Jika berbicara kepentingan rakyat mungkin ada benarnya , karena rakyat memang memiliki ketergantungan pada pemerintah yang tentu saja diharapkan dapat membuat regulasi dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan mereka setelah pemilu selesai. Tetapi jika pemilu dikatakan sebagai moment untuk menentukan masa depan rakyat, hipotesis seperti ini masih harus dibedah lebih dalam. Siapapun tidak bisa dengan serta merta menghubungkan masa depan depan rakyat dengan kepentingan politik melalui pemilu. Karena pada kenyataannya setelah melewati satu dasawarsa negara ini menggunakan sistem demokrasi dimana pemilu berulang kali dilaksanakan, nasib rakyat kelihatannya tak kunjung mengalami kemajuan yang berarti. Dengan demikian melihat kondisi rakyat yang demikian ini, masihkah hipotesi tadi dikatakan mengandung kebenaran???. Saya kira tidak, orang awam sekalipun akan mengatakan tidak untuk realitas seperti yang terjadi sekarang. Lalu muncul pertanyaan, di mana letak kesalahannya???, sistemkah yang salah atau manusia pelaksana sistem yang salah???.

Berbicara dalam tataran konsep, sistem demokrasi sebenarnya cukup bagus, karena rakyat diberi kekuasaan penuh untuk menentukan siapa yang dipercaya untuk mengatur kepentingan mereka selama lima tahun. Sistem ini kemudian menjadi lemah karena peran rakyat dibatasi, sekaligus hanya diberi ruang sempit dengan cara memilih pemimpin melalui pemilu. Setelah itu rakyat tidak memiliki peran apa-apa lagi kecuali pasrah menerima apa yang menjadi keinginan penguasa. Akhirnya makna demokrasi menjadi bias dan nampak hanya sebagai alat para politisi untuk memperoleh kekuasaan atas nama rakyat, lalu setelah itu mereka boleh berbuat sekehendak hatinya.

Dalam kondisi seperti ini, masihkah pemilu dapat dikatakan sebagai wadah bagi rakyat untuk menentukan masa depannya???, atau pemilu hanyalah wadah mengobral dan mengumbar janji-janji kosong para politisi yang tanpa makna, atau masih layakkah sistem demokrasi ini dipertahankan sebagai sebuah sistem untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air kita Indonesia tercinta?. Sepertinya kita memang harus banyak membaca sejarah, sehingga kita tidak mudah jatuh dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Kalau saja para elit politik dan penguasa menyadari bahwa sejarah sudah membuktikan demokrasi hanya menyisakan kepedihan dan kesengsaraan bagi rakyat, dan demokrasi telah gagal mengangkat harkat dan martabat rakyat menjadi lebih terhormat. Maka seharusnya mereka berkata "Katakan tidak untuk demokrasi", bukan sebaliknya menyanjung sistem demokrasi setinggi langit dan tetap mencoba melakukan trial and error hanya dengan dalih "kita ini kan dalam tahap belajar berdemokrasi, jangan samakan dengan Amerika yang demokrasinya sudah berusia ratusan tahun". Sungguh sebuah logika yang sulit untuk diterima.

Akhirnya dari pemilu ke pemilu rakyat hanya bisa berharap dan berharap akan adanya perubahan, kepedulian dan keberpihakan pada nasib mereka. Tetapi jika kondisi seperti ini terus berlanjut, maka dapat dikatakan pemilu hanyalah wadah melakukan pembodohan dan melambungkan mimpi-mimpi rakyat setinggi langit, yang pada akhirnya kemudian dihempaskan ke dasar samudera. Sementara rakyat terus dan terus saja berharap bahwa pemilu akan mengubah nasib mereka. Jadilah pemilu "Antara Harapan dan Kenyataan".

Baca juga artikel berikut :



0 komentar:

Copyright © 2009 - ekspresi ikhwan - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template